Gardaanimalia.com - Tiga buah kardus tanpa pemilik ditemukan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada dini hari, Jumat, 9 Mei 2025 lalu. Terungkap, 19 ekor elang paria berjejalan dengan kondisi yang memprihatinkan di dalamnya.
Berdasarkan temuan lapangan ini, pihak keamanan menduga bahwa satwa dilindungi tersebut adalah bagian dari upaya perdagangan ilegal.
Kemudian, petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur membawa kesembilan belas ekor raptor ini ke fasilitas Wildlife Rescue Unit.
Hasil pemeriksaan menyatakan 19 ekor elang paria itu mengalami kondisi lemas dan stres berat.
Menurut Kepala Bidang Teknis BBKSDA Jawa Timur, Nofi Sugiyanto, proses pemulihan akan berlangsung panjang dan kompleks. Lantaran, mayoritas elang paria masih anakan.
Sembilan ekor elang paria masih berumur kurang dari 1 bulan (bulu kapas), 8 ekor berumur 1 sampai 2 bulan, dan 3 ekor telah memasuki umur remaja (juvenile) 3 bulan.
“Karena elang paria (Milvus migrans) tersebut rata-rata masih anakan maka untuk proses pemulihan sampai rehabilitasi dan siap untuk di lepasliarkan kira-kira membutuhkan waktu 1 sampai 2 tahun,” terang Nofi kepada Garda Animalia, Rabu (21/5/2025).
Di kandang transit BKSDA, mereka menjalani pemeriksaan medis meliputi pemeriksaan fisik, darah, hingga analisis feses untuk mendeteksi penyakit menular dan parasit.
Elang paria korban penyelundupan yang diamankan oleh BBKSDA Jatim. | Foto: KSDAE Kemenhut
Rehabilitasi Perilaku Satwa
Selain pemulihan fisik, rehabilitasi perilaku menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan. Elang paria adalah burung pemangsa yang memiliki peran kunci dalam ekosistem.
Untuk kembali ke habitat aslinya, mereka harus memiliki kemampuan berburu dan bertahan hidup secara mandiri.
Alhasil proses rehabilitasi harus dilewati beberapa tahap. Nofi menjelaskan, yakni dengan melatih perilaku umum elang (general behaviour) seperti bertengger dan terbang.
Selanjutnya, perilaku berburu (hunting behaviour), yaitu mencari, menangkap atau berburu sampai menangani mangsa.
Terakhir, perilaku sosial (social behaviour) terhadap jenis yang sama, berbeda, dan manusia.
Lalu pihaknya juga memantau perkembangan perilaku sosial mereka, termasuk interaksi dengan sesama elang dan manusia.
Setelah melewati semua tahapan rehabilitasi medis dan perilaku, elang-elang ini akhirnya akan dilepasliarkan. Namun, pelepasliaran bukanlah proses yang asal-asalan.
“Satwa bebas dari penyakit menular, pelepasliaran dilakukan terhadap jenis burung (Aves) yang telah mendapatkan perlakuan proses rehabilitas,” jelasnya.
Selain harus dinyatakan bebas dari penyakit, pemeriksaan habitat harus dilakukan untuk memastikan kesesuaian kondisi alam liar dengan spesies mereka.
Pihaknya akan memilih lokasi pelepasliaran dengan cermat, memperhatikan faktor-faktor seperti kesesuaian habitat, ketersediaan makanan alami, serta keamanan dari ancaman perburuan liar.
Sebelum mereka benar-benar dilepas, elang akan melalui tahap habituasi di lokasi yang dipilih agar dapat beradaptasi dengan lingkungan baru.
Setelah pelepasliaran, BBKSDA Jatim akan melakukan pemantauan pasca-pelepasliaran untuk memastikan keberhasilan dan kelangsungan hidup elang di alam liar.
Penyelundupan dan Perdagangan Satwa Liar
Kini, 19 elang paria (Milvus migrans) sudah dalam keadaan baik dan sehat. Sementara, hingga sekarang pihak BBKSDA Jatim belum mendapatkan informasi mengenai siapa pelaku kasus penyelundupan satwa liar dilindungi.
“Terkait penganan kasus BB 19 elang paria dan siapa pemilik bisa langsung ditanyakan ke penyidik Satreskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak,” katanya.
Seperti diketahui kasus-kasus perdagangan ilegal maupun penyelundupan satwa liar semakin marak. Selama tahun 2023 saja, upaya penyelundupan sekitar 4.247 satwa liar berhasil digagalkan di Pelabuhan Tanjung Perak.
Para pelaku penyelundupan dan perdagangan satwa liar secara ilegal, memanfaatkan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk menjadi penangkap atau pemburu satwa liar dari habitatnya.
“Khususnya jenis burung berkicau dan burung paruh bengkok serta satwa lain yang mempunyai nilai komersial tinggi di pasar, dengan imbalan tertentu,” ungkapnya.
Kemudian para pelaku perdagangan menampung satwa-satwa tersebut di tempat tertentu sebagai stok yang akan diperdagangkan.
Nofi menjelaskan, modus operandi pun berkembang seiring dengan kemajuan teknologi.
Sekarang para pelaku penyelundupan sudah merambah ke semua media sosial seperti WhatsApp, Telegram, dan TikTok, untuk memasarkan satwa liar secara daring.
Ditambah proses pengiriman yang semakin senyap, melibatkan berbagai jaringan pengiriman yang tak terbatas oleh jarak dan ruang.
“Di lapangan, kita sering menemukan pengiriman satwa liar menggunakan kurir atau sopir truk. Selanjutnya, barang titipan tersebut akan di jemput oleh pembeli atau penerima barang di tempat yang sudah dijanjikan,” kata Nofi.
Para pelaku tidak hanya memanfaatkan jalur darat, tetapi juga transportasi laut bahkan udara.
Belum lagi di beberapa lokasi kerap dijumpai oknum yang dapat melancarkan usaha ilegal mereka. Modusnya adalah dengan memalsukan dokumen yang tidak sesuai isi, menempatkan satwa pada kardus yang telah dimodifikasi sebagai alat angkut serta menggunakan jaringan terputus dan melibatkan oknum.
Menurut Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 Tahun 2018, jenis elang paria merupakan satwa dilindungi di Indonesia.