[caption id="attachment_11963" align="aligncenter" width="686"] Gambar capung tombak loreng. | Foto: Tommy Apriando/Mongabay[/caption]
Gardaanimalia.com - Capung memiliki mata majemuk yang terdiri dari mata kecil-kecil, kemudian disebut ommatidium yang merupakan salah satu ciri khas insekta ini. Ia memiliki sayap transparan dengan bentuk memanjang yang seringkali memantulkan warna-warna yang cantik.
Apakah kamu tahu, capung termasuk ke dalam bangsa apa? Yap, betul sekali. Ia termasuk ke dalam bangsa odonata.
Capung adalah hewan akuatik dan non akuatik.((https://www.greeners.co/flora-fauna/capung/)) Habitat satwa satu ini sangat luas, termasuk habitat sawah. Prof. Damayanti Buchori, MSc dari IPB mengungkapkan, bahwa ia hidup di tiga dunia, yakni air, darat, dan udara.
Ia hidup di dalam air ketika dalam fase telur dan larva. Saat berkembang menjadi nimfa, ia akan merambat ke batang-batang tanaman hingga akhirnya menjadi capung dewasa yang terbang di udara. “Itu tidak semua serangga bisa seperti itu,” kata Prof Dami.((https://koransulindo.com/presiden-capung-indonesia-dan-pencetus-odolantology-wahyu-sigit/))
Buku Naga Terbang Wendit tahun 2013, menyebut bahwa capung merupakan serangga terbang pertama di dunia. Ia muncul sejak zaman karbon, 360-290 ratus juta tahun lalu.
Keragaman capung di Indonesia belum dapat dipastikan berapa jumlahnya, namun banyak riset menyebutkan spesies serangga terbang tersebut di Tanah Air kita berada pada peringkat nomor dua setelah Brazil. Jumlah itu mencapai 900 dari 5.680 jenis capung dunia atau sekitar 15%-nya.((https://www.mongabay.co.id/2020/11/09/melihat-perubahan-iklim-lewat-capung/))
Indonesia pernah memiliki atlas capung, karena waktu itu, Lieftinck direktur Museum Zoologi Bogor merupakan seorang ahli capung. Dari situlah akhirnya dimiliki database keragaman satwa liar tersebut.
Akan tetapi pada tahun 1954, aktivitas-aktivitasnya berhenti di Indonesia, Lieftinck pulang ke Belanda dan membawa beberapa spesimen. Sejak saat itu, penelitian-penelitian serius terkait satwa terbang yang kini sebagain dari jenisnya sudah sulit ditemui itu tidak dilakukan lagi.((https://www.mongabay.co.id/2020/01/07/kecintaan-wahyu-pada-capung-satwa-indikator-lingkungan/))
Sedih ya, huhu. Tapi tenang Sob, karena sekarang Indonesia Dragonfly Society sedang mencoba melakukan perbaruan data terhadap atlas capung yang sebelumnya telah dikumpulkan oleh Lieftinck.
Capung sebagai Bio-Indikator Lingkungan
Kehidupan capung sangat bergantung pada kualitas air. Dalam siklus hidupnya, ia akan mengalami metamorfosis tidak sempurna dari telur menjadi nimfa, kemudian baru menjadi capung dewasa. Dalam fase bertelur hingga menjadi nimfa, ia lebih banyak menghabiskan hidupnya di sungai, rawa, bakau, dan perairan seperti kali. Nimfa capung juga terbilang cukup sensitif terhadap pencemaran air. Sehingga keberadaan capung bisa menandakan daerah-daerah yang masih baik dan mana saja yang sudah tercemar.((https://www.mongabay.co.id/2013/05/06/capung-si-jagoan-mungil-penjaga-air-untuk-manusia/)) Pun ketika telah dewasa, capung hidup tidak jauh-jauh dari air meski rata-rata umurnya hanya sampai empat bulan. Itulah mengapa, jika kondisi lingkungan air tercemar, capung tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Jika kondisi ini terus terjadi dan meluas, dikhawatirkan populasinya dapat menurun. Namun, menurut pendiri dan ketua Indonesia Dragonfly Society, Wahyu Sigit Rahadi, tidak semua capung bisa dipakai untuk asesmen lingkungan. Dalam wawancara bersama Mongabay, ia menjelaskan bahwa capung yang dapat menjadi indikator lingkungan adalah capung yang hidup di naungan. Hal itu disebabkan karena mereka sangat bergantung terhadap keragaman vegetasi, kualitas udara, dan air yang baik. Capung-capung yang sensitif terhadap perubahan tutupan vegetasi adalah beberapa golongan capung jarum (Zygoptera) dari famili Coeagridae, Platycnemididae, dan capung besar (Anisoptera) dari famili Aeshnidae, tertuang dalam buku Capung Kelola Sendang: Mengumpulkan yang Terserak, Merawat yang Tersisa. Jenis-jenis capung itulah yang bisa digunakan sebagai penanda kualitas habitat terestrial karena mereka membutuhkan tutupan vegetasi sedang hingga rapat. Jika tutupan vegetasi mengalami perubahan atau alih fungsi, maka keberadaan jenis-jenis tersebut akan hilang.((https://repository.zsl.org/media/314637-capung-kelola-sendang-00475159.pdf)) Di sisi lain, serangga terbang itu juga dapat menjadi indikator dampak perubahan iklim. Meski risetnya masih sangat terbatas, pada 2010 misalnya, ada salah satu Jurnal BioRisk, 5 edisi khusus yang membahas tentang capung. Dalam pengantar jurnal, Jeffrey A. McNeeley menyatakan capung bisa menjadi alat untuk memantau perubahan iklim karena ia mudah diidentifikasi, sangat sensitif terhadap perubahan, tiap spesies memiliki distribusi berbeda-beda, dan mereka berkembang biak relatif cepat.((https://www.mongabay.co.id/2020/11/09/melihat-perubahan-iklim-lewat-capung/)) Ahli serangga dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Saputa kemudian menerangkan bahwa perubahan iklim jelas menyebabkan kenaikan suhu air dan hal itu memengaruhi kadar oksigen di dalamnya. Semakin panas air, maka semakin sedikit kadar oksigennya. “Otomatis capung akan susah untuk hidup,” papar Saputa.((7.https://www.mongabay.co.id/2016/07/11/begini-dampak-perubahan-iklim-terhadap-penurunan-populasi-capung/)) [caption id="attachment_11964" align="aligncenter" width="1000"]