[caption id="attachment_16186" align="aligncenter" width="1202"] Perburuan monyet ekor panjang. | Foto: Action for Primates[/caption]
Gardaanimalia.com - Mereka berdesingan di antara runtun jati yang meranggas dan semak-semak palawija, merayap berbaris di tepi jalan lintas provinsi yang berliku masuk ke pedalaman pulau, berkerumun di kuil tua dan makam raja bersama orang-orang yang sedang berdoa.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)–yang dalam tulisan ini akan kita sebut ringkas sebagai monyet–telah memadati seluruh Paparan Sunda jauh sebelum para pelaut purba dari Formosa–nenek moyang petani Indonesia–berlabuh di Nusantara lima ribu tahun silam.
Ada jenjang 30 juta tahun yang memisahkan manusia dan monyet. Sabana Afrika memaksa manusia berdiri tegak, membuat alat, dan memutar otak sampai mereka menjadi Homo sapiens–"manusia bijaksana".
Di lain bioma, monyet berevolusi pada ranting-ranting pohon yang berkelindan rapat pada kanopi hutan hujan Asia Tenggara. Pertemuan keduanya–para monyet lincah berekor lentuk dan manusia agrikultural dengan peradabannya–adalah babak nol dari konflik berkepanjangan antara dua saudara yang lama terasingkan.
Namun, babak satunya baru dimulai beberapa dekade belakang. Ketika manusia telah bertuan pada kuasa industri pasar, sedangkan monyet tetap tunduk di bawah kuasa alam.
[caption id="attachment_18199" align="aligncenter" width="2210"]
Peta persebaran monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Asia Tenggara. Di Indonesia, monyet bisa ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, hingga Nusa Tenggara. | Sumber: IUCN[/caption]
Babak Satu: Monyet dan Petani
Monyet adalah hewan sinantropik, yang berarti mereka sangat senang tinggal di dekat manusia. Dia bertolak belakang dengan perilaku satwa liar lain seperti gajah dan harimau yang umumnya menyelinap ke kebun dan desa warga karena terpaksa. Sama seperti banyak hewan sinantropik lainnya, monyet mendekati manusia karena makanan. Buah dan bebijian menyusun mayoritas asupan gizi monyet sedangkan sisanya meliputi dedaunan, bunga, akar, kulit kayu, dan kadang hewan-hewan kecil.((Nila, S., Suryobroto,B., dan Widayat, K.A. 2014. “Dietary variation of long tailed macaques (Macaca fascicularis) in Telaga Warna, Bogor, West Java”. Hayati Journal of Biosciences. 21(1): 8 - 14.)) Masalahnya, buah dan biji hanya datang musiman. Ketika kemarau datang sedikit berkepanjangan, monyet rentan kelaparan. Maka, sewaktu mereka tahu kalau ada hewan yang tanpa pamrih menyodorkan pisang tanduk kukus dan kacang tanah rebus tanpa dijeda musim dan cuaca, berbondong-bondong mereka datang menuju permukiman manusia seperti sebuah gelombang urbanisasi raksasa. Para monyet sampai bermigrasi keluar taman nasional dan suaka margasatwa menuju desa, kebun, dan jalan raya tempat mereka bisa mendapatkan makanan gratis dan mudah buangan manusia. Di Taman Nasional Baluran, misalnya, monyet di tepi jalan lintas provinsi jumlahnya tiga puluh lima kali lipat jumlah monyet di dalam hutan.((2.Hansen, M. F., Nawangsari, V. A., van Beest, F. M. dkk. 2019. “Estimating densities and spatial distribution of a commensal primate species, the long-tailed macaque (Macaca fascicularis).” Conservation Science and Practice. 1(9): e88.)) Cilakalah para primata karena mereka tidak tahu kalau hewan ultracerdas yang mereka dekati punya senjata bernama bahasa. Dan salah satu kata dalam bahasa itu adalah hama. Dia memiliki makna, semua hewan dan tumbuhan yang merugikan kegiatan manusia. Hama adalah lalat dan kecoak yang berkeliaran di gorong-gorong kota. Hama adalah cecurut dan ulat kumbang yang menggerogoti akar jagung muda. Karena memanfaatkan suplai makanan di habitat manusia, hewan-hewan sinantropik sangat mudah disebut hama. Istilah itu menyeruak ketika para pemukim menganggap tabiat monyet mulai kelewatan. Buah ranum, bibit unggul, bahkan sayur di dapur dijambret gerombolan satwa yang wataknya makin lama makin seperti bandit. Para monyet tentu senang saja karena punya akses melimpah terhadap asupan gizi. Sistem pertanian pangan yang intensif dan monokultur adalah surga makanan bagi hewan sinantropik seperti monyet. Sayangnya, dalam kodratnya sebagai binatang, mereka tidak mengerti apa maknanya mencuri, serakah, apalagi kurang ajar. Satu hari, seorang petani yang kepalang muntab mengangkat senapannya dan di hari itu juga perang dideklarasikan. Monyet-monyet yang awalnya sekadar dihalau dengan gagang sapu dan tongkat bambu sekarang berhadapan dengan desing-desing peluru. Selincah apa pun, monyet tidak mampu menyaingi teknologi yang dikuasai manusia. Monyet tewas bergelimpangan di jalan dan tanah ladang, sedangkan sebagian masuk kembali ke pedalaman hutan.Babak Dua: Monyet dan Kapital
Namun, segelintir monyet ditangkap sebagai tawanan perang. Manusia yang menyanderanya memerhatikan sifat mereka yang ternyata cukup pintar untuk ukuran satwa. Bagaimana pun, monyet adalah sepupu jauh manusia. Tidak mengejutkan kalau mereka berdua berbagi sedikit kecerdasan. Yang mengejutkan, para monyet ini mau-maunya disuruh melompat-lompat, jungkir balik jumpalitan, bermain sepeda buatan, sampai berjualan ikan demi sebilah pisang. Mata para penangkap monyet mulai berbinar seperti uang-uang logam. Para tawanan monyet mulanya dikirim ke kota-kota, di mana atraksi mereka mengubah lampu merah jadi semacam sirkus ekspres. Baik anak maupun orang dewasa tertarik menontonnya, sampai-sampai beberapa ingin memiliki monyet mereka sendiri. Anak-anak monyet sering dipesan untuk jadi hewan peliharaan yang tidak jarang menjadi ganas ketika beranjak dewasa.((Aris. 2023. Monyet Liar Berkelaiaran di Kawasan Batamcenter. Batampos.co.id. Diakses di https://metro.batampos.co.id/monyet-liar-berkeliaran-di-kawasan-batamcenter/)) Di desa, orang-orang yang awalnya hanya ingin mengusir monyet dari kebun mereka mulai dengan sengaja menyekap monyet untuk dikirim ke kota. [caption id="attachment_18201" align="aligncenter" width="819"]
Babak Tiga: Monyet dan Negara
Semua bentuk eksploitasi ini, dari yang legal sampai yang amoral, bermuara dari mudahnya akses mendapatkan monyet. Pemerintah sebenarnya bisa membuat titik cekik di mana rantai pasokan ini jadi lebih sulit diakses dengan mengategorikan monyet sebagai satwa dilindungi. Semua satwa dilindungi haram diperjualbelikan secara komersial. Dibandingkan jalur pidana untuk penganiayaan hewan, jalur pidana jual beli hewan dilindungi lebih ketat diawasi. Bendera merah sudah dikibarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan menobatkan monyet sebagai spesies genting (endangered).((7.Hansen, M.F., Ang, A., Trinh, T.T.H. dkk. 2022. Macaca fascicularis (versi amandemen dari asesmen 2022). The IUCN Red List of Threatened Species 2022: e.T12551A221666136.)) Namun, kekuatan untuk menentukan monyet sebagai satwa yang dilindungi negara bukan ada di tangan IUCN, tapi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Tangan itu, kebetulan, belum bertindak jauh. Agar satu spesies mampu memegang kartu tanda dilindungi keluaran KLHK, mereka harus memenuhi parameter yang tercantum dalam PP Nomor 7 Tahun 1999, yaitu (1) memiliki populasi kecil, (2) ada penurunan jumlah individu yang tajam di alam, dan (3) daerah penyebarannya terbatas atau endemik pada suatu lokasi.((Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Presiden Republik Indonesia: Jakarta.)) Parameter ini ditentukan melalui pertimbangan oleh Otoritas Keilmuan. Mandatnya dilimpahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah lebur dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, tidak jelas dokumen apa yang terhitung sebagai "pertimbangan dari Otoritas Keilmuan". Apakah riset milik BRIN termasuk ke dalam pertimbangan? Kalau iya, hanya ada satu artikel pada seluruh laman bertajuk brin.go.id dan lipi.go.id yang mengangkat topik monyet sejak hewan itu masuk sebagai spesies genting. Artikel itu pun sekadar tentang interaksi monyet pejantan alfa dan pejantan lainnya di suatu taman wisata religi, bukan tentang habitat dan populasi.((Al Hakim, R.R., Nasution, E.K., dan Rizaldi. 2022. “Perbandingan Tingkah Laku Harian Alpha-Male Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan Jantan Lain di TWR Makam Mbah Agung Karangbanar”. RINarxiv BRIN. https://rinarxiv.lipi.go.id/lipi/preprint/view/185)) Bagaimana dengan dokumen yang dipakai untuk menentukan kuota ekspor? BRIN menerbitkan dokumen bernama Non-Detriment Finding (NDF) yang menunjukkan kalau jumlah hewan yang dikirimkan ke luar negeri tidak akan merusak populasi.((CITES. 2022. What’s an NDF and why is it impotant? Diakses dari https://cites.org/eng/news/whats-ndf-important)) Namun, NDF itu semata kelengkapan ekspor untuk satwa dalam Appendix II CITES yang meliputi spesies dengan izin perdagangan komersial terbatas. [caption id="attachment_18202" align="aligncenter" width="1448"]