[caption id="attachment_19189" align="aligncenter" width="1280"] Gajah di Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC). | Foto: PPID KLHK[/caption]
Gardaanimalia.com - Sampai maut memisahkan, ikrar para pasangan. Namun, Sekar dan Dwiki justru dipertemukan oleh kematian.
Sekar yang bermata sayu itu sebelumnya tinggal bersama suaminya di Semarang Zoo yang masih berlokasi di Tinjomoyo. Sayang, tak lama suaminya mati dan mendadak sungai di sebelah rumahnya meluap tanpa henti.
Pindahlah Sekar ke Mangkang Kulon, sebuah koridor sempit yang menjembatani metropolis Semarang dan Kendal. Di selatan rumah baru Sekar, belantara bernama Wadas Malang terbentang. Di utaranya, lautan. Di sana dia bertemu Guntur yang hampir 20 tahun lebih muda darinya.
Sekar sudah masuk umur setengah abad waktu itu, tapi usia sekadar angka. Dan begitulah, keduanya hidup bersama sampai Sekar mati–menyambangi pasangan lamanya, barangkali.
Sementara itu, Dwiki adalah pengembara tanah Sumatra. Dia hidup dalam pergerakan tanpa henti, menjelajahi sehampar padang yang orang sebut sebagai Barumun Nagari.
Dwiki sering bermain ke alam liar mencari makanan bersama rekan-rekannya. Kadang pula mereka tidur di sana. Satu hari, karena alasan yang tidak diketahui, pipi kanan Dwiki tercabik. Luka kecil. Namun, sejak hari itu Maut mengintip dari balik pepohonan dan mulai mengikutinya.
Belakangan, Dwiki berpamitan dengan rekan-rekannya di Barumun Nagari menuju Aek Nauli, sebuah pencilan di pesisir Danau Toba, untuk menyambut penjelajahan yang segar. Tak terduga, di sanalah justru Maut menyambut. Dia mengelus bekas luka itu dan Dwiki pergi seketika.
Kematian mereka terpaut dekat. Dwiki di hari Selasa, Sekar di hari Jumat pada minggu yang sama. Cara mereka bertemu Maut pun cukup serupa. Diawali dengan sakit gigi, lalu keduanya merasa tidak nafsu makan, perlahan menjadi begitu lemas, kemudian mati.
[caption id="attachment_19190" align="aligncenter" width="1280"]
Pemeriksaan dilakukan kepada gajah Dwiki di Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. | Foto: KSDAE KLHK[/caption]
Dokter sempat merawat keduanya dengan intensif. Infus yang sampai ratusan kantung disalurkan ke dalam tubuh mereka. Keduanya tidak kunjung pulih. Setelah mati, tubuh mereka dibelah dan organnya–paru, ginjal, sampai hati–diambil untuk diperiksa. Hasilnya menunjukkan sebab yang sama: malnutrisi.
Walaupun hidup Sekar dan Dwiki dijeda jarak ratusan kilometer, kematian mereka yang beruntun dan identik membuat kisah keduanya seperti satu cerita yang menerus. Dan setiap cerita yang menerus pasti dikemudikan oleh sebuah latar belakang yang tidak terlihat, tetapi berkuasa. Ini adalah usaha menyelisik dan membaca latar belakang apa yang berkuasa terhadap kematian Sekar dan Dwiki.
Perjalanan kita menemukan latar ini akan cukup panjang. Dimulai dari anatomi gigi mamalia itu, hingga konflik rekan-rekan mereka dengan para pekebun sawit. Tetapi, tidak sulit menebak latar yang pertama: Sekar dan Dwiki, keduanya sama-sama seekor gajah sumatera.
Kuasa Anatomi
Abad ke-16, seorang Ahli Anatomi Prancis bernama Ambroise Paré menulis: "Sakit gigi, dari yang lainnya, adalah rasa sakit paling keji yang dapat menyiksa manusia, diikuti oleh (rasa sakit) kematian". Padahal manusia dewasa punya 32 gigi yang masing-masing tidak sampai sebesar ruas jari. Gajah, di lain sisi, punya enam. Dan hanya empat yang mereka gunakan untuk mengunyah makanan. Dua lainnya berevolusi menjadi begitu panjang hingga bisa mengeruk tanah. Kita menamainya gading untuk gajah jantan dan caling untuk gajah betina. Empat gigi lainnya adalah geraham raksasa, satu di setiap sudut rahang. Ukurannya mencapai 30 cm dan beratnya 3 kg; mengangkatnya akan terasa seperti mengangkat bata. Geraham ini dikerubungi oleh jejaring saraf, termasuk yang mendeteksi nyeri. Kita tidak tahu apakah nyeri sakit gigi bagi gajah berlipat ganda ketimbang sakit gigi yang kita rasakan. Yang pasti, pedihnya mampu membuat mereka enggan makan dan memilih kelaparan, layaknya Sekar dan Dwiki. Ambroise Paré mungkin tidak mampu menuliskan kata-kata untuk nyeri yang dirasakan oleh kedua gajah itu. [caption id="attachment_19191" align="aligncenter" width="857"]
Isu Pakan di Penangkaran
Gajah tidak serta-merta mati kelaparan ketika gigi mereka rusak. Maria menerangkan, mereka akan mencari opsi makanan alternatif, misal makanan yang lebih lembut seperti buah-buahan. Akses terhadap variasi makanan adalah kunci bagi kesejahteraan hidup gajah. Habitat alami yang sehat, seperti hutan alam dan semak belukar menyediakan opsi ini. "Dari daya jelajah (habitat alam) pasti lebih luas. Kemudian, tempat dia cari makan lebih banyak. Mereka lebih variatif untuk mencari makanan," jelasnya lagi. Berbeda dengan yang terjadi di penangkaran. Walaupun memiliki tujuan konservasi, penangkaran memiliki daya jelajah dan variasi makanan yang terbatas. Ini membatasi dua faktor penting yang memengaruhi daya dukung pakan suatu wilayah, yaitu total biomassa dan keanekaragaman pakan.((https://www.researchgate.net/publication/330538799_Feed_Diversity_Palatability_and_Carrying_Capacity_of_Sumatran_Elephant_Elephas_maximus_sumatranus_Flying_Squad_in_Tesso_Nilo_National_Park)) Hal ini, Maria menjelaskan, berhubungan dengan manajemen dari setiap lembaga konservasi. Lembaga yang memiliki dukungan finansial dan kelembagaan yang tinggi dapat mengelola habitat yang luas pada penangkaran mereka dan menyediakan pakan yang beragam. Beberapa penangkaran bahkan mempraktikkan metode hybrid, di mana gajah dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri pada lahan yang dikelola lembaga konservasi. Petugas hanya perlu menyediakan asupan nutrisi yang tidak tersedia di lahan tersebut. Umumnya, penangkaran berkapasitas besar seperti ini berada di wilayah taman nasional, seperti Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Walaupun sebagian besar luasannya telah luluh lantak oleh kebun sawit, tapi daerah di sekitar tempat penangkaran gajah jinak Elephant Flying Squad TNTN masih kaya akan pakan gajah. Di sana, gajah masih bisa digembalakan setiap hari untuk mencari makanan sendiri.((https://www.researchgate.net/publication/330538799_Feed_Diversity_Palatability_and_Carrying_Capacity_of_Sumatran_Elephant_Elephas_maximus_sumatranus_Flying_Squad_in_Tesso_Nilo_National_Park)) Luas penangkaran di daerah taman nasional biasanya mencapai belasan, bahkan ratusan ribuan hektare. Maria menyebutkan, di Pusat Konservasi Gajah Seblat, Bengkulu, tempatnya bekerja, wilayah jelajah gajah yang tersedia mencapai 17 ribu hektare. Contoh lainnya adalah si kondang Taman Nasional Way Kambas yang memiliki luas wilayah hingga 125 ribu hektare. Bandingkan ini dengan beberapa penangkaran lain. Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, rumah lama Dwiki, hanya memiliki luas 600 hektare.((https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/batu_nanggar_bnws)) Aek Nauli Conservation Camp, tempat Dwiki dipindahkan dan tidak lama mati, memiliki luas 1.900 hektare.((https://www.pariwisatasumut.net/2019/05/aek-nauli-konservasi-gajah-di-danau-toba.html)) Luas wilayah jelajah yang sempit berarti opsi makanan yang lebih sedikit juga. Dan jangan lupakan kebun binatang. Luas wilayah jelajah gajah di sana hanya sebesar kandang. Seluruh pakannya otomatis bergantung pada yang disediakan oleh petugas. Jika kebun binatang sepi pengunjung dan pengelola tidak punya pemasukan untuk membeli pakan hewan, maka porsi pakan gajah pun bisa jadi berkurang. [caption id="attachment_19192" align="aligncenter" width="1600"]
Sekadar Tempat Mengungsi
Kita telah melihat, kuantitas dan variasi pakan terbaik terdapat di habitat alam yang ideal. Namun, apakah yang ideal itu masih ada? Saat ini, habitat gajah telah diduduki oleh lahan manusia, khususnya perkebunan sawit dan hutan industri yang sudah merambah hingga ke dalam taman nasional.((https://tessonilo.gardaanimalia.com/)) Sawit dan hutan industri sama-sama menuntut budi daya monokultur di mana makin sedikit variasi genetika dalam perkebunan, makin tinggi profitnya. Pada habitat yang telah teralterasi menjadi ladang industri, gajah tidak lagi punya banyak pilihan makanan. Di kebun sawit, opsinya tentu hanya sawit. Walaupun mereka menyukai batang-batang sawit muda, lanskap perkebunan sawit tidak punya daya dukung pakan yang cukup untuk menyokong populasi gajah dengan berkelanjutan. Misalnya pada (lagi-lagi) Taman Nasional Tesso Nilo yang setiap hektarenya bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan satu ekor gajah.((https://www.neliti.com/publications/201231/daya-dukung-pakan-gajah-sumatera-elephasmaximus-sumatranus-temminck-di-taman-nas)) Hutan industri juga sama buruknya. Akasia, salah satu spesies andalan hutan produksi kayu dilaporkan punya sifat alelopati. Senyawa yang disebarkan pohon ini menekan pertumbuhan spesies tumbuhan lain. Keanekaragaman pakan di hutan akasia dilaporkan sebagai yang paling sedikit di wilayah operasional Elephant Flying Squad Taman Nasional Tesso Nilo.((https://www.researchgate.net/publication/330538799_Feed_Diversity_Palatability_and_Carrying_Capacity_of_Sumatran_Elephant_Elephas_maximus_sumatranus_Flying_Squad_in_Tesso_Nilo_National_Park)) Ini menjadikan daya dukung pakan di hutan akasia, baik secara kuantitas maupun variasi, terhitung sangat rendah. Kita belum memperhitungkan konflik dengan para pekerja kebun sawit dan hutan tanaman industri. Gajah dianggap sebagai hama di banyak daerah industri tanaman. Mereka diusir, bahkan diburu jika ketahuan masuk ke tanah garapan warga. Taruhan gajah untuk mencari makan–yang perlu kita ingat lagi, mencakup 50 persen dari seluruh aktivitas hidupnya–adalah nyawa. Di alam saat ini, opsi gajah seolah cuma dua, mati kelaparan atau mati diburu. [caption id="attachment_19193" align="aligncenter" width="1080"]