[caption id="attachment_21255" align="aligncenter" width="1600"] Seekor kura-kura bajuku yang dirawat WRC. Di fasilitas baru, WRC akan mengadakan program pengembangbiakan konservasi khusus untuk spesies ini. | Foto: Dokumentasi WRC[/caption]
Gardaanimalia.com - Puing-puing, pepohonan yang meranggas, enam ekor kucing.
Tojeiro Spijkstra mengajak saya berjalan melewati pagar pembatas. Tanah seluas 13 hektare di luar pagar itu adalah lahan bekas sewaan Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta.
WRC merupakan Lembaga Konservasi (LK) Khusus yang mengelola satu-satunya Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di tiga provinsi: DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Mereka melakukan penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran terhadap satwa liar yang mengalami masalah, seperti satwa yang diselundupkan, terluka, dan berkonflik dengan warga.
Lokasi fasilitas WRC sebelumnya ada di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Hampir 20 tahun WRC beroperasi di sana.
Sejak 2022, fasilitas tersebut tutup untuk sementara. Hampir seluruh lahannya telah dikembalikan kepada desa, sementara perawatannya diserahkan kepada alam.
Tertinggal di sana hanya satu hektare lahan untuk bangunan utama, Tojeiro selaku staf WRC Jogja, dan kucing-kucingnya.
Tidak, mereka tentu tidak bubar. Justru sebaliknya: WRC akan punya rumah baru, dengan lokasi dan kerja-kerja konservasi yang baru pula.
[caption id="attachment_21250" align="aligncenter" width="1600"]
Puing sisa replika batuan yang membatasi kandang rehabilitasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan siamang (Symphalangus syndactylus). | Foto: Aditya/Garda Animalia[/caption]
Pindah Rumah
"Memang luar biasa bagaimana alam bisa mengambil alih segalanya dalam satu tahun," kata Tojeiro sembari melewati lautan daun kering yang telah menutupi jalan setapak menuju sisa bangunan dan kandang hewan. Sisa dinding, fondasi, dan pagar besi berbaris di kiri kanan. Ada sisa fasilitas karantina, kolam-kolam kecil dengan pilar tempat elang bertengger, juga reruntuhan sebuah replika batuan yang membatasi kandang makaka dan siamang. Di belakang, Kimi mengikuti kami dengan lincah. Kimi adalah salah satu kucing milik Tojeiro, sekaligus penguasa sementara bekas fasilitas WRC. Tojeiro telah mengenal WRC sejak 2018. Ketika itu, dia datang jauh dari Belanda sebagai relawan. Meskipun latar belakang pendidikannya adalah teknik mekatronika, dia langsung merasa cocok dengan kerja-kerja konservasi. Tidak perlu waktu lama sampai dirinya memutuskan untuk mendedikasikan karir di rehabilitasi satwa. Saat ini, Tojeiro mengambil posisi sebagai Animal Welfare Coordinator, profesi yang berfokus di antaranya kepada kesejahteraan satwa, meliputi psikologi, genetika, kemampuan belajar satwa. "Kalau dokter hewan merawat kondisi fisik satwa, saya bertugas merawat kondisi mental mereka [satwa]," jelasnya. Namun, setahun ke belakang Tojeiro mengisi hari di depan laptop: membuat laporan internal dan belajar manajemen perawatan dan kesehatan hewan. Ketika pandemi menghantam, WRC tidak jadi pengecualian. Kala itu tim terpaksa melepaskan sewa lahan karena jumlah relawan yang menyusut dan donor yang menyurut. Selama kurun tersebut, satwa yang lulus rehabilitasi dilepasliarkan. Sisanya dipindahkan ke lembaga konservasi lain, termasuk ke Gembira Loka Zoo, kebun binatang di Kota Yogyakarta. Beruntung, WRC berhasil mendapatkan bentangan tanah baru. Lokasinya di Kecamatan Kalibawang, masih di Kabupaten Kulon Progo. Jaraknya sekitar 40 menit perjalanan ke utara dari lokasi lama. Rencananya, fasilitas baru ini akan mulai beroperasi beberapa tahun ke depan. "Saya rindu turun langsung ke lapangan dan beraktivitas dengan satwa," kenang Tojeiro. [caption id="attachment_21251" align="aligncenter" width="4563"]
Kura-Kura dan Binturong: Langkah Baru WRC
Selama masa transisi, WRC juga merumuskan program konservasi yang lebih mutakhir. Tidak hanya bergumul dengan kegiatan penyelamatan dan rehabilitasi satwa secara umum, mereka juga berencana melaksanakan proyek-proyek untuk kelestarian spesies terancam punah. Salah satunya adalah bagi spesies kura-kura air tawar paling besar di Asia Tenggara, kura-kura bajuku (Orlitia borneensis). Kura-kura ini juga dikenal sebagai kura-kura byuku, kura-kura sungai raksasa, atau Malaysian giant turtle. Panjang spesiesnya bisa mencapai 0,8 meter dan beratnya sampai 50 kilogram. Di Indonesia, kura-kura bajuku terdapat di bagian dataran rendah Kalimantan dan pesisir timur Sumatra. Walaupun habitatnya luas, tetapi spesies ini umumnya hanya dapat ditemukan di dalam taman nasional saja. Sejak 2018, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mendeklarasikan kura-kura bajuku sebagai spesies kritis (critically endangered). Dalam kurun tiga generasi, jumlahnya jadi tinggal 80 persen dari jumlah awal. Penyebab utamanya, daging kura-kura ini digemari oleh pasar Asia Timur. Harganya bisa menembus ratusan ribu rupiah per kilogram. Dengan beratnya yang bisa mencapai setengah kuintal, satu ekor kura-kura bajuku bisa sampai diborong jutaan rupiah. Walaupun pemerintah mengategorikan spesies itu sebagai satwa dilindungi lewat Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, perdagangan ilegal daging kura-kura bajuku ditengarai masih terjadi. Pada 2020, misalnya, perdagangan ilegal kura-kura bajuku di Kalimantan Barat melalui Facebook diekspos oleh organisasi Alliance Kalimantan Animals Rescue. Sekitar 17 tahun sebelumnya, WRC juga mendapatkan 19 ekor kura-kura bajuku hasil sitaan usaha penyelundupan. Tojeiro bercerita, setiap kali dia melintasi kandang rehabilitasi kura-kura bajuku, mereka langsung melompat masuk ke dalam air, bahkan sampai menyusup masuk ke dalam endapan lumpur di dasar kolam. "Lumpurnya bisa sedalam ini," katanya sembari melintangkan lengan di dada. Tojeiro menganggap sifat penakut mereka sebagai perilaku yang baik. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak terbiasa melihat manusia, sifat yang memang semestinya dimiliki satwa liar. Kesuksesan WRC dalam mengonservasi kura-kura bajuku tidak hanya terbilang dari munculnya sifat alami mereka di kandang rehabilitasi. Setelah 20 tahun konservasi, satwa dilindungi tersebut juga berkembang biak sampai populasinya berlipat ganda. Pendataan terakhir mencatat jumlah kura-kura bajuku di fasilitas WRC mencapai 40 ekor. Karena kesuksesan inilah, WRC membuat program fokus pengembangbiakan kura-kura bajuku. [caption id="attachment_21252" align="aligncenter" width="6000"]
Tantangan Administrasi dan Birokrasi
Namun, jangan kira merawat satwa adalah hal yang mudah, apalagi di Indonesia. Konservasi bukan cuma memberi pakan, mengecek kesehatan, dan melepasliarkan satwa. Urusan satwa baru setengah perjalanan. Setengahnya lagi adalah pergulatan dengan urusan administrasi: mengetik berita acara, menyodorkan perizinan, menunggu surat rekomendasi. WRC pun perlu melimpahkan banyak waktu untuk mengurus hal-hal tersebut. Ganjalan administrasi bahkan pernah sampai membahayakan satwa yang sedang dalam proses rehabilitasi genting. Salah satu kasusnya terjadi ketika WRC baru saja mendapatkan satu individu elang hasil sitaan penyelundupan. Kemudian, mereka melakukan pengecekan kesehatan jika ada penyakit menular yang menjangkit elang tersebut. Ketika akan mengirimkan sampel untuk diagnosis, mereka masih harus berkutat dengan urusan dokumen bernama Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN). SATS-DN merupakan dokumen yang wajib dipegang oleh pihak mana pun yang ingin melakukan transportasi individu, bagian tubuh, bahkan material genetik satwa liar. "Kirim sampel untuk tujuan diagnosis itu harus ada SATS-DN, dan itu berbayar. Satu lembar itu 35 ribu," terang Irna. Irna sempat menegaskan kepada pihak pemerintah bahwa aktivitas seperti pengiriman sampel untuk diagnosis tidak boleh dipersulit, apalagi aktivitas tersebut merupakan hal yang mendesak dalam konteks penyelamatan satwa. [caption id="attachment_21253" align="aligncenter" width="999"]