[caption id="attachment_21697" align="aligncenter" width="957"] Seekor harimau jawa baru saja diburu di daerah Banten. | Foto: H. Bartels/Wikimedia Commons[/caption]
Gardaanimalia.com - Kakawin Nitisastra, pedoman kebijaksanaan hidup, mengajarkan bahwa harimau dan hutan adalah saudara. Jika seseorang memiliki niat buruk ketika masuk hutan, harimau akan mengadangnya.
Sebaliknya, jika seseorang ingin memburu harimau, hutan akan mengelabuinya. Namun, jika keduanya terpisah, hutan akan ditebangi dan harimau akan dibasmi oleh manusia.
Kutipan tersebut dicatat oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1830). Ketika itu, Jawa masih dirimbuni belantara keramat yang dihuni oleh orang-orang sakti, dhanyang penghuni beringin dan trembesi, serta harimau-harimau suci.((Raffles, T.S. 1830. The History of Java. London: John Murray, 2 volume.))
Raffles tidak tahu kalau catatannya menjadi salah satu rekaman terakhir kesakralan harimau jawa. Tidak lama setelah bukunya terbit, Belanda membuka hutan, mempekerjakan pemburu harimau, dan menunggangi upacara kerajaan yang melumat jumlah kucing besar di Pulau Jawa.
Hari ini, mitos dan magi telah mati di tanah Jawa, begitu pula dengan harimau-harimau penjaganya. Harimau jawa dinyatakan punah pada 1979 setelah individu terakhirnya di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur tidak pernah muncul lagi.
Kepunahan harimau jawa adalah kisah pergeseran budaya, eksploitasi sumber daya, dan politik penguasa. Kita akan melihat bagaimana ruh leluhur dan raja-raja lampau menjaga hutan dan harimau tetap lestari.
Kita juga akan melihat bagaimana lumatnya populasi harimau berkorelasi dengan tekanan pemerintah Hindia Belanda kepada pribumi.
Terakhir, kita akan melirik bagaimana pola yang serupa terjadi hari ini di Sumatra, satu-satunya lokasi yang masih mampu menaungi harimau Nusantara.
Penjaga Rimba, Saudara Manusia
Satu hari, Prabu Siliwangi, Raja Agung Pajajaran, lebur dengan Hutan Sancang dan menjadi harimau putih. Keputusan itu diambilnya agar dia tak perlu berkonflik dengan anaknya (atau sepupunya, tergantung referensi), Raden Kian Santang yang meminta sang raja untuk memeluk Islam. Konon, harimau jelmaan Prabu Siliwangi itu masih menjaga Leuweung Sancang sampai saat ini.((Wessing, R. 1993. “A Change in the Forest: Myth and History in West Java. Journal of Southeast Asian Studies. 24(1): 1-17.)) Legenda yang sama bergaung di seluruh penjuru Jawa. Dari Ujung Kulon sampai Blambangan, terdapat kisah-kisah mengenai penjagaan hutan Jawa oleh harimau suci. Akademisi Robert Wessing mengutarakan, masyarakat masa lalu percaya bahwa harimau adalah perwujudan ruh leluhur yang menjaga dan mengawasi perilaku seluruh warga desa. Oleh karena itu, warga menghormati harimau dengan sebutan Mbah, Kiai, dan Datuk–layaknya mereka menghormati sang leluhur.((Wessing, R. 1995. “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change”. Asian Folklore Studies. 54(2): 191-218.)) Umumnya, yang dimaksud leluhur adalah para pendiri desa. Mereka dianggap sakti karena tidak sembarang orang boleh membuka hutan dan membangun perkampungan. Hutan dibuka hanya atas seizin alam. Hutan yang terlarang tidak bisa dimasuki orang bahkan untuk sekadar mengumpulkan rotan. Pada mitos lain, Wessing merekam sebuah kisah yang mengatakan bahwa manusia dan harimau adalah saudara. Keduanya lahir dari ibu yang sama. Menentukan wilayah hutan larangan merupakan semacam penghormatan kepada saudara kandung manusia. [caption id="attachment_21698" align="aligncenter" width="806"]
Rampog Macan dan Tanam Paksa
Luruhnya kesakralan harimau jawa barangkali dimulai dengan ekspansi Kesultanan Mataram memasuki abad ke-17. Sejarawan Peter Boomgaard berpendapat, saat itu Kesultanan Mataram yang baru saja lahir membutuhkan upcara yang spektakuler untuk mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Jawa.((Boomgaard, P. 1994. “Death to the tiger! The development of tiger and leopard rituals in Java, 1605-1906”. South East Asia Research. 2(2): 141-175.)) Salah satu catatan pertama pembasmian harimau massal beririsan dengan periode ini, yaitu pada 1620, ketika 200 ekor harimau diburu untuk kepentingan upacara. Upacara tersebut adalah pertarungan antara harimau dan banteng. Harimau menyimbolkan kekuatan alam yang perlu ditundukkan, sementara banteng merepresentasikan kekuatan Mataram. Hampir setiap waktu harimau kalah oleh banteng, bukti bagi para sultan terhadap superioritas Mataram di hadapan musuh-musuhnya. Acara kemudian dilanjutkan dengan rampog macan. Di tengah alun-alun, seekor harimau atau macan tutul ditempatkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh lapis demi lapis prajurit pembawa tombak. Sang harimau yang panik lama-lama memaksa diri untuk melompati barikade prajurit, hanya untuk tertusuk oleh tombak-tombak runcing. Darah alam tumpah, masyarakat sumringah. Rampog macan menjadi ciri kerajaan Jawa bahkan sampai Mataram pecah menjadi beberapa kerajaan yang lebih kecil. Saking digemarinya upacara tersebut, Kesultanan sampai memiliki pemburu harimau dan rusa profesional yang disebut sebagai tuwa-buru. Ini adalah pergeseran ekstrem dari sudut pandang masyarakat mula yang melihat harimau sebagai perwujudan ruh leluhur penjaga alam. Wessing mencatat, kerajaan justru memandang harimau sebagai representasi keliaran alam maupun sifat sultan yang harus ditaklukkan. [caption id="attachment_21699" align="aligncenter" width="910"]

Akhir Kisah Harimau Jawa
Walaupun sudah mendapatkan perlindungan hukum, jumlah harimau jawa tidak pernah pulih ke kondisi semula. Ini karena hutan tetap ditebangi, bahkan setelah Belanda hengkang dari Indonesia. Pada kisaran 1950 sampai 1970, banyak hutan primer diubah menjadi hutan jati untuk menggenjot perekonomian negara. Pada 1960, harimau jawa hanya tinggal di petak-petak hutan seperti Ujung Kulon, Leuweung Sancang, Meru Betiri, dan Baluran. Jumlahnya semakin sedikit ketika berbagai konflik sipil terjadi pada transisi Orde Lama dan Orde Baru. Para masyarakat sipil bersenjata kabur ke dalam hutan dan mulai memburu harimau untuk bertahan hidup. Pada 1975, populasi penduduk Jawa sudah mencapai angka 85 juta jiwa, sementara hanya delapan persen dari luas tutupan lahan pulau yang masih berupa hutan alam. Pada 1976, akademisi Seidensticker dan timnya menemui sisa terakhir harimau jawa: tiga buah tapak kaki di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, tidak ada indikasi kalau harimau di kawasan hutan tersebut bereproduksi.((Seidensticker, J. 1987. “Bearing Witness: Observations on the Extinction of Panthera tigris balica and Panthera tigris sondaica” dalam Tigers of The World: The Biologi, Biopolitics, Management, and Conservation of an Endangered Species. Ronald, L. Tilson, dan Ulysses S. Seal (ed.). New Jersey: Noyes Publication, hal. 1-8.)) Beberapa tahun setelahnya, harimau jawa dinyatakan punah. [caption id="attachment_21701" align="aligncenter" width="1206"]