[caption id="attachment_10328" align="aligncenter" width="799"] Foto dua mahkota cenderawasih. Foto: Flickr/Tanty Hutagalung[/caption]
Gardaanimalia.com - Pada awal abad ke-16, kapal-kapal dagang bersandar di dermaga Cambay, India. Mereka baru saja mengarungi perjalanan panjang dari perairan paling timur Asia Tenggara sembari singgah di pulau-pulau dengan nama asing seperti Aru dan Tanimbar. Dari kapal-kapal itu, diturunkan kargo berisi barang-barang eksotik hasil transaksi dengan penduduk lokal. Di antaranya adalah tiga puluh potong pakaian dengan bulu-bulu kuning menyala dan satu tubuh burung awetan tanpa kaki dengan bulu yang sama kuningnya. Awetan burung itu memukau seluruh orang. Saking cantiknya, mereka mengira dia diturunkan langsung dari surga. Bird of paradise, sebut mereka.
Tomé Pires, seorang ahli obat Portugis, mencatat hal ini dalam bukunya Suma Oriental. Catatan ini menjadi bukti pertama perdagangan internasional burung cenderawasih.((Pires, T. 1944. The Suma Oriental of Tomé Piresof 1512-1515. McGill University Library (kontributor). London: The Hakluyt Society, 578 hal. Diakses dari https://archive.org/details/McGillLibrary-136385-182/page/n155/mode/2up pada 15 September 2021.)) Semenjak itu, permintaan bulu burung cenderawasih sebagai bagian dari mode terus meningkat.
Tren ini memuncak pada awal abad ke-20 ketika bulu cenderawasih menjadi busana kaum elit bagi orang Eropa dan Amerika Serikat.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))((Kirsch, S. 2006. “History and the Birds of Paradise. Surprising Connections from New Guinea”. Penn Museum Expedition Magazine. 48(1): 15-21. Diakses dari https://www.penn.museum/sites/expedition/history-and-the-birds-of-paradise/pada 14 September 2021.)) Antara tahun 1905 dan 1920, 30.000 hingga 80.000 burung cenderawasih dibunuh setiap tahunnya untuk memenuhi permintaan pasar. Seluruh usaha untuk menghentikan kepunahan burung ini sia-sia. Namun beruntung, burung cenderawasih selamat karena tren busana bergeser dan permintaan pasar turun.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))
[caption id="attachment_10327" align="aligncenter" width="295"]
Seorang wanita pada awal abad-20 menggunakan topi dengan ornament burung cenderawasih. Foto: Fashionfeathers[/caption]
Seratus tahun berselang setelah selamat dari kepunahan, kali ini burung cenderawasih bertemu ancaman baru. Tapi kali ini ancaman itu tidak datang dari negeri-negeri Eropa dan Amerika. Dia kebanyakan hadir dari orang-orang lokal yang tergiur dengan suvenir burung cenderawasih, baik dalam bentuk awetan maupun sebagai hiasan pada mahkota. Tidak sedikit cendera mata yang diselundupkan sebagai barang ilegal.((Tim Pembela Satwa Liar. 2021. “Karantina Pertanian Ternate Gagalkan Penyelundupan Awetan Cenderawasih”. Garda Animalia. Diakses dari https://gardaanimalia.com/karantina-pertanian-ternate-gagalkan-penyelundupan-awetan-cenderawasih/pada 15 September 2021.))((Tubaka, N. 2018. “Polisi Sita Puluhan Cenderawasih Awetan di Kepulauan Aru”. Mongabay. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/08/15/polisi-sita-puluhan-cenderawasih-awetan-di-kepulauan-aru/ pada 15 September 2021.))
Yang paling hangat adalah merebaknya isu kalau mahkota cenderawasih akan dijadikan cendera mata pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX yang dituanrumahi oleh Provinsi Papua pada awal Oktober mendatang.((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.)) Berbagai pihak secara tegas menolak ide ini. Penolakan berpusat pada kekhawatiran terhadap keberadaan cenderawasih yang sudah semakin langka. Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, Duta Pembangunan Berkelanjutan Sustaniable Development Goals (SDGs) Indonesia, serta Tonny Tesar, Bupati Kabupaten Yapen, menyatakan bahwa populasi burung cenderawasih terus menurun dan pemberian hiasan cenderawasih sebagai cendera mata PON merupakan langkah yang tidak bijaksana.((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.)) Yang biasa dijadikan mahkota dan awetan, dengan bulu coklat dan ekor kuning-putih, adalah burung cenderawasih jenis Paradisaea. Jenis ini mencakup tujuh spesies yang di antaranya meliputi cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih kuning-kecil (Paraidsaea minor), dan cenderawasih raggiana (Paradisaea raggiana).((Irestedt, M., Jønsson, K.A., Fjeldså, A., Christidis, L., Ericson, P.G.P. 2009. “An unexpectedly long history of sexual selection in birds-of-paradise”. BMC Evolutionary Biology. 9: 235. DOI: https://dx.doi.org/10.1186%2F1471-2148-9-235))
Dalam IUCN Red List, diketahui bahwa seluruh spesies cenderawasih dalam jenis Paradisaea mengalami penurunan populasi. Tiga di antaranya masih berada dalam status kekhawatiran rendah (least concern), dua berada dalam status hampir terancam (near threatened), dan dua berada dalam status rentan (vulnerable). Status ini sebenarnya tidak memberikan gambaran yang utuh karena jumlah spesies cenderawasih sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Dengan tingginya perburuan, sangat memungkinkan kalau kondisi mereka jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang dilaporkan. Pada Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018, seluruh spesies cenderawasih yang ada di Indonesia masuk ke dalam daftar hewan diindungi.((Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta: Sekretariat Negara.))
Baca juga: Mengenai Pulau Jawa, Penjara Burung Terbesar di Indonesia
Sebenarnya sudah terdapat dua aturan pemerintah yang menegaskan bahwa transaksi produk cenderawasih tidak diperbolehkan. Yang pertama adalah UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diuraikan dalam Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menyimpan dan memperniagakan hewan yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati, termasuk cenderawasih di dalamnya. Aturan yang kedua adalah Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tanggal 5 Juni 2017 oleh Provinsi Papua yang melarang penggunaan burung cenderawasih sebagai aksesoris dan cendera mata.((Suroto, H. 2021. “Kontroversi Mahkota Burung Cenderawasih Jadi Souvenir PON XX Papua”. detikTravel. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5712450/kontroversi-mahkota-burung-cenderawasih-jadi-souvenir-pon-xx-papua?_ga=2.179060525.841338112.1631610513-1456627288.1630390131pada 14 September 2021.)) Yang diperbolehkan dalam surat edaran ini hanya penggunaan burung cenderawasih asli dalam proses adat istiadat yang bersifat sakral.
Surga Itu Terancam Runtuh pada Sebuah Pekan Olahraga
Mahkota cenderawasih merupakan simbol kebesaran masyarakat adat Papua yang hanya boleh dikenakan oleh seorang tokoh adat wilayah pesisir atau kepala suku wilayah daerah pegunungan pada acara-acara tertentu saja.((Suroto, H. 2021. “Kontroversi Mahkota Burung Cenderawasih Jadi Souvenir PON XX Papua”. detikTravel. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5712450/kontroversi-mahkota-burung-cenderawasih-jadi-souvenir-pon-xx-papua?_ga=2.179060525.841338112.1631610513-1456627288.1630390131pada 14 September 2021.))((Mayor, R.J. 2021. “’Mahkota Cenderawasih Simbol Kebesara, Jangan Pakai Sembarangan di PON XX Papua’”. Merdeka. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/mahkota-cenderawasih-simbol-kebesaran-jangan-pakai-sembarangan-di-pon-xx-papua.html pada 15 September 2015.)) Dahulu, bulu cenderawasih dipakai oleh prajurit-prajurit Papua sebagai simbol kekebalan. Oleh para wanita, bulu cenderawasih dikenakan sebagai lambang kesuburan.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546)) [caption id="attachment_10329" align="aligncenter" width="600"]