[caption id="attachment_16126" align="aligncenter" width="824"] Harimau bali telah diburu oleh Oskar Vojnich, seorang warga Hungaria. Warga lokal hanya menjadi porter. Gambar diambil di Gunung Gondol, Kabupaten Buleleng, Bali. | Foto: Vojnich Pál/Wikimedia Commons[/caption]
Gardaanimalia.com - Bayangkan kita adalah bagian dari suatu tim ekspedisi. Kita masuk ke dalam hutan belantara dalam upaya konservasi spesies rusa yang sangat langka.
Orang-orang berlegenda kalau bubuk tanduknya bisa mengobati segala jenis penyakit. Dari selesma sampai kanker. Dari sembelit sampai covid. Karenanya, rusa itu diburu habis-habisan sampai jumlahnya hanya terbilang puluhan.
Di gerbang hutan, kita disambut kelompok penduduk lokal. Mereka diagungkan sebagai penjaga belantara dengan segala kearifannya. Pemerintah menghibahkan sebentang lahan kepada mereka dalam program pelestarian hutan karena konon mereka memegang kunci sakral bagi kehidupan yang harmonis dengan alam.
Upacara penyambutan dan jamuan dimulai. Ritual-ritual diibadahkan. Ada tarian-tarian tradisional yang penuh dengan dentuman gendang. Ada nyanyian-nyanyian yang bergaung bersama pepohonan. Ada sesajian tradisional dari tanaman-tanaman hutan.
Pada puncak sambutan, segelondong hewan panggang yang ditutup oleh daun-daun pisang diarak ke hadapan kita untuk disantap bersama. Ketika sang tetua adat menyibakkan daun pisang itu, ternyata yang dihidangkan adalah rusa langka yang kita cari!
Bertanyalah kita kepada sang tetua adat tentang kegiatan perburuan rusa ini. Ternyata dia memberikan jawaban yang membuat semua terkaget-kaget: oh, ini rusa kesukaan orang kota. Bukannya kalian membeli daging dan tanduknya dengan harga mahal dari kami?
Apa yang perlu kita lakukan? Tetap ikut merayakan adat sebagai tanda hormat? Atau justru memasukkan mereka sebagai ancaman kepunahan?
Ini adalah dilema yang sering kita hadapi ketika membahas hubungan masyarakat tradisional dan kelestarian alam. Kadang kita menemukan para penjaga alam ini ternyata melakukan tindakan yang tidak menjaga alam.
Sebelum membahas masalah ini, perlu kita ketahui dahulu kalau hubungan antara kesejahteraan masyarakat tradisional dan kelestarian alam memang benar adanya. Penelitian oleh Estrada dkk. (2022) menunjukkan bahwa populasi primata yang berada pada kawasan masyarakat adat cenderung lebih stabil ketimbang yang berada di luar populasi.((Estrada, A., Garber, P.A., Gouveia, S., dkk. 2022. “Global importance of Indigenous Peoples, their lands, and knowledge systems for saving the world’s primates from extinction”. Science Advances. 8:eabn2927.))
Pada budaya Sunda tradisional misal, mengganggu kukang dianggap tabu. Di wilayah yang masih menjunjung tabu ini, kukang dapat ditemukan dalam jumlah yang melimpah.((Nijman, V. dan Nekaris, K.A. 2014. “Traditions, taboos and trade in slow lorises in Sundanese communities in southern Java, Indonesia”. Endangered Species Research. 25:79-88.)) Kita juga mengingat bagaimana harimau jawa dan bali dianggap sebagai hewan sakral. Keduanya baru punah setelah koloni Belanda memburunya sebagai hobi.((Ashraf, M. 2006. “The extirpation of Bali and Javan tiger: lessons from the past”. Tiger Paper. 33(3): 3-8.))
Namun, tidak jarang kita menemukan kasus transaksi hewan-hewan langka yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Telur-telur penyu dijajakan sebagai kuliner khas.((Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2013. BKSDA Sumsel Amankan 2.287 Telur Penyu Sisik Dari Upaya Penyelundupan.)) Begitu pula dengan ikan belida yang diolah menjadi kerupuk di pasar-pasar tradisional Kalimantan.((Trisna, R. 2022. Balada di Balik Gurih Kerupuk Belida (Bagian 1). Kanal Kalimantan.))
Dahulu, populasi cenderawasih terjun bebas karena penduduk asli tanah Maluku dan Papua menjual burung surga itu kepada pelayar-pelayar Eropa.((Pires, T. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires of 1512-1515. McGill University Library (kontributor). London: The Hakluyt Society, 578 hal.))
Romantisasi Pengetahuan Tradisional
Mari tinggalkan sebentar bahasan tentang kelestarian hewan dan diskusikan sedikit masalah masyarakat tradisional. Dalam bukunya Awan Terhimpun Awan Membuyar, Hery Santoso mengkritik keluguan kita yang selalu meromantisasi masyarakat tradisional.((Santoso, H. 2020. Awan Terhimpun Awan Membuyar. Interlude: Yogyakarta, xii + 186 hal. ISBN: 9786237676478)) Kita menganggap mereka sebagai kaum purba puritan yang selalu menjaga tradisi leluhur. Mereka pasti menolak pengaruh luar dan menjunjung tinggi adat istiadat. Padahal, beberapa di antara mereka juga beradaptasi dengan dunia di luar pasak-pasak desa yang mereka buat. Mereka tertarik dengan teknologi mutakhir, mereka mengikuti perkembangan pasar, dan tidak sedikit dari mereka yang secara aktif mendekatkan diri pada dunia modern. Dampaknya, kita tidak menganggap mereka yang berkehidupan dengan dunia luar sebagai masyarakat tradisional. Mereka dibiarkan begitu saja berinteraksi dengan pasar. Inilah asal mula dari banyak perusakan lingkungan oleh kelompok-kelompok ini. Kita juga senang menggelorakan pengetahuan tradisional. Adat istiadat dianggap sebagai mantra pembuka bagi rahasia keharmonisan alam. Sains mungkin absolut, tapi tidak ada yang lebih bijaksana dibandingkan kearifan lokal. [caption id="attachment_16127" align="aligncenter" width="800"]
Kearifan Lokal yang Tetap Lokal
Sepertinya, usaha yang lebih sederhana bisa kita lakukan bagi kelompok yang memutuskan untuk tetap tertutup. Kepada mereka, respon terbaik kita adalah menghormati keputusan itu. Ada satu hal yang membuat hubungan antara kelompok-kelompok ini dengan alam berbeda dengan masyarakat global. Mereka telah berada pada titik kesetimbangan dengan lingkungan tempat mereka hidup. Mereka berburu, menebang, dan menanam sesuai dengan kebutuhan. Hidup mereka subsisten. Mereka adalah salah satu komponen dalam ekosistem yang stabil. Inilah yang ditekankan oleh Estrada dkk. (2022) ketika melihat peningkatan kesejahteraan primata yang hidup berdekatan dengan masyarakat tradisional. Mereka tidak melakukan pembabatan hutan dan tidak pula melakukan perburuan yang tidak perlu. Ketika kita menghormati wilayah masyarakat tradisional, secara langsung kita melindungi habitat primata. Kuncinya adalah mengintegrasikan kelompok masyarakat tradisional dalam satu kesatuan wilayah konservasi. [caption id="attachment_16128" align="aligncenter" width="852"]