Gardaanimalia.com – Dua TNI, Serka M. Yusuf Harahap dan Serda Ramadani Syahputra hanya divonis 1 tahun penjara dalam kasus perdagangan 320 kilogram sisik trenggiling (Manis javanica) di Pengadilan Militer Medan, Kamis (3/7/2025).
Majelis hakim juga membebankan denda sejumlah Rp100 juta kepada keduanya, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan 1 bulan.
Vonis ini memang lebih berat 4 bulan dibanding tuntutan oditur militer. Namun, Khairul Abdi Silalahi selaku Penasihat Hukum terdakwa sipil Amir Simatupang mengatakan, putusan itu tidak mencerminkan keadilan.
Pasalnya, kliennya dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Jaksa Penuntut Umum pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumut, pekan lalu.
Padahal, Amir dan dua anggota TNI tersebut serta polisi bernama Bripka Alfi Hariadi Siregar (kini berpangkat Aipda) sama-sama terjaring OTT tim Gabungan Penegak Hukum dan Gakkum KLHK Sumut di loket PT RAPI pada 11 November 2024.
Meski ditangkap bersamaan, keempatnya mendapat perlakuan yang berbeda. Amir dituntut 7 tahun penjara, Serka Yusuf dan Serda Dani divonis 1 tahun penjara, sedangkan Alfi Siregar belum diadili. Alfi baru ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2025 dan kini mengajukan praperadilan untuk menggugurkan status tersangkanya.
“Jelas Pengadilan Militer salah menerapkan UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sebab dalam Pasal 40, minimal hukuman penjara 3 tahun dan tidak boleh di bawah 3 tahun. Untuk itu, Komisi Yudisial (KY) harus ambil andil dalam putusan tersebut supaya mendapatkan keadilan bagi masyarakat sipil,” ujarnya.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 21 Ayat (2) Jo Pasal 40 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang telah diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2024, ancaman hukuman bagi pelaku adalah minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp3,5 miliar.
“Maka putusan pengadilan militer tersebut tidak mencerminkan pencari keadilan bagi masyarakat sipil yang terkena hukum,” tergasnya.
Selain itu, Khairul Abdi juga mendesak penegak hukum mengungkap dari hulu hingga hilir persoalan 1,2 ton sisik trenggiling yang dipindahkan secara terencana oleh polisi dan TNI dari Gudang Polres Asahan. Menurutnya, sepanjang sidang terdakwa Amir Simatupang hal itu tidak terungkap.
“Sampai sekarang aktor-aktor pemain belum pernah diusut dari hulu ke hilir. Siapa penangkap (ternggiling), pengumpul, pembunuh, penyimpan dan penjual hingga pembeli tidak terungkap. Serta [siapa] yang bertanggung jawab atas hilangnya 1,2 ton sisik trenggiling dari gudang Polres Asahan, dan sampai sekarang oknum pimpinan polisi yang memerintahkan belum tersentuh hukum,” ungkapnya.
Hakim Tidak Punya Pemahaman tentang Hancurnya Ekosistem akibat Perdagangan Sisik Trenggiling
Direktur Eksekutif YOSL-OIC, Syafrizaldi Jpang, menilai apa yang terjadi di PN Kisaran dan Pengadilan Militer Medan dalam kacamata konservasionis sangatlah jomplang.
Ia memahami bahwa hakim tentu punya pertimbangan sendiri dalam memutus perkara, tetapi sense mereka berbeda.
Syafrizaldi berkata, ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, apakah hakim punya pemahaman paripurna atas hancurnya ekosistem akibat tindak pidana ini? Jika tidak, maka hakim harus tentu bertanggung jawab atas keputusannya, atas porak-porandanya habitat, atas nilai-nilai keseimbangan alam yg terus tergerus.
“Keputusannya itu juga turut mencederai korpsnya sendiri dan yang pasti, hakim juga bertanggung jawab sampai ke akhirat nanti,” ungkapnya dengan nada kesal.
Kedua, apakah memutus perkara ini bebas dari pengaruh pihak lain? Misalnya, pengaruh dari terdakwa atau pun koleganya, pengacara dari terdakwa, atau jabatan para terdakwa, atau apa pun itu.
“Yang perlu mereka sadari adalah, jika setidaknya empat ekor trenggiling dibunuh hanya untuk satu kilogram sisiknya, berapa nyawa yang telah direnggut? Hakim bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Kita mestinya malu pada diri sendiri akibat perbuatan melanggar hukum tersebut bukan hanya merugikan ekosistem, tetapi sejatinya adalah menggali kubur untuk diri kita sendiri. Saya berharap kasus ini bisa membuka mata hati semua orang, bahwa harmoni kehidupan ada di tangan kita,” tegas pria yang akrab disapa Al ini.
Ia mengajak semua pihak memberi atensi pada kasus ini. Terlebih saat ini masih ada satu tersangka dari unsur Polri yang belum diadili, yakni Aipda Alfi Hariadi Siregar.
Ia berharap hakim menolak praperadilan yang diajukan sehingga Aipda Alfi bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum, seperti Amir, Serka Yusuf, dan Serda Dani.
Ia juga berharap PN Kisaran memberikan hukuman yang lebih berat pada Aipda Alfi. Pasalnya, dia adalah penegak hukum yang malah melanggar hukum.
“Atas nama kehilangan sumber plasma nutfah Indonesia, siapa pun pelaku kejahatannya mesti mendapat ganjaran berat. Tidak peduli apakah itu masyarakat sipil, polisi, tentara ataupun penyelenggara negara lainnya. Tindakan mereka merugikan negara, bertentangan dengan hukum, bahkan menyalahi tatanan kehidupan,” jelasnya.
M. Indra Kurnia selaku Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat YOSL OIC juga meyanyangkan dua terdakwa TNI yang terlibat dalam Perdagangan Ilegal Satwa Liar (PISL) hanya divonis 1 tahun.
Dimana notabene mereka adalah aparat negara yang harusnya melek hukum dan aturan perundang-undangan dalam hal ini terkait perlindungan satwa liar. Akan tetapi, tuntutan terhadap masyarakat sipil malah lebih berat.
“Kemungkinan minimnya referensi hakim di pengadilan militer terhadap kasus-kasus PISL yang sudah terungkap dan diproses hukum, jika dibandingkan kasus serupa yang dilakukan oknum APH bisa jadi referensinya sedikit. Tapi kan tidak juga menutup mata terhadap kasus-kasus serupa yang terjadi di ranah sipil bisa jadi referensi bagi hakim pengadilan militer,” bebernya.
Berkaca dalam kasus ini, Indra berpendapat perlu penyamaan pemahaman di tingkat aparat negara atau aparat penegak hukum di masa mendatang, apakah dalam bentuk diseminasi atau Forum Group Discussion (FGD) bahwa isu PISL ini juga merupakan extraordinary crime, seperti halnya narkoba dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sehingga kelak jaksa dan hakim sipil maupun militer punya pemahaman yang sama dalam mengadili kasus PISL.
Penulis: Arifin Al Alamudi